Transform Logo


Akses Rendah, Partisipasi MasyarakatTinggi

admin      31 Januari 2013      ARTIKEL

Suyono

Sebagai provinsi kepulauan, maka dari luas wilayahnya sebesar 53,18 % berupa hutan. Disini lain, tahun 2012 jumlah penduduknya 4.500.212 jiwa (BPS NTB 2012) dan sebanyak 852,64 ribu jiwa atau 18,63 persen merupakan penduduk kategori “miskin”. Berdasarkan fakta lapangan, kantong-kantong kemiskinan umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan sumber daya hutan. Kasus di Pulau Lombok saat ini memiliki desa yang berbatasan langsung dengan wilayah hutan lebih dari 80-an desa, yang rata-rata termasuk kategori desa miskin.

Sumberdaya hutan yang merupakan wilayah open access bagi masyarakat disatu sisi dan disisi lain kontrol pemerintah kurang optimal, disebabkan keterbatasan personil dan anggaran merupakan masalah yang sampai hari ini belum ada penyelesaian yang optimal. Oleh karena itu, wilayah ini selalu menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan sewaktu krisis ekonomi maupun sebaliknya. Akibatnya tingkat kerusakan hutan menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, seperti aktivitas ilegal loging, perambahan lahan, sengketa tapal batas, pemanfaatan HHBK dan lain sebagainya terus berlanjut hingga saat ini.

Keluarnya permenhut No. 37/2007 merupakan tonggak baru dalam upaya mereduksi pesoalan komplesitas seputar sumberdaya hutan. Kebijakan ini telah mendorong partisipasi masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan sumbdaya hutan pada lahan kritis sangat tinggi. Dalamperspektif kebijakan maka telah memberikan ruang ijin bagi masyarakat untuk mengaksesnya. Dengan paradigma “ Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera” dan visi “NTB Hijau”, maka Pemerintah Daerah NTB telah memberikan akses ijin pengelolaan kawan hutan dalam rangka mengurangi angka kemiskinan. Namun demikian ternyata hingga tahun 2012 berdasarkan releas dari RLPS Kemenhut tahun 2012, baru menapai usulan HKm dan HTR 23.608 Ha, penetapan Menhut 15.081 Ha dan telah mendapatkan ijin Bupati 7.729 Ha. Hal ini berarti bahwa akses implementasi kebijakan tersebut masih sangat rendah. Hal ini sebagaimana nampak jelas bagaimana degradasi usulan dan ijin yang diberikan oleh pemerintan daerah NTB yang ternyata terjadi kesenjangan yang luar biasa besar. Gradasi kesenjangan ini tampak pada graffik histogram disamping ini.

Akses Ijin HKm dan HTR yang masih rendah ini ternyata disebabkan oleh faktor dukungan anggaran pemerintah masih redah, terjadinya konflik diareal yang diusulkan dan juga inisiatif usulan HKm dan HTR banyak diprakarsai oleh NGO. Data yang direleas Samanta, menunjukan inisiatif pemerintah daerah dalam mendorong akses ijin HKM dan HTR proporsinya mencapai 35 % dan sisanya 65 % inisiatif NGO. Ini membuktikan bahwa apabila CSO didaerah ini kurang kuat maka mengindikasikan bahwa akses masyarakat juga semakin terbatas. Sulitnya masyarakat mendapatkan akses ijin pengelolaan terutama ditingkat pemerintah daerah NTB ini mendorong semakin tingginya angka kerusakan hutan. Fakta dilapangan menunjukkan hampir semua kawasan hutan baik konservasi maupun hutan produksi di NTB ini bila melihat di Pulau Lombok hampir semua dirambah wilayahnya untuk menopang kehidupan ekonomi masyarakat seputar kawasan hutan. Akses ijin masyarakat ini bertolak belakang dengan akses ijin untuk perusahaan dibidang kehutanan misalnya program HTI dari sisi waktu pengurusan pengusulan hingga keluarnya ijin pengelolaan kurang lebih 1-2 tahun, sementara untuk akses ijin masyarakat bisa mencapai lebih dari 2 tahun.

Pemerintah NTB juga “kurang” memberikan akses diluar ijin terkait dengan pengelolaan HKM, dan HTR seperti akses pemodalan. Untuk hasil hutan buka kayu misalnya, pemerintah masih sangat minim memberikan bantuan modal usaha dalam kerangka medorong muculnya kewirausahaan masyarakat seputar kawasan hutan. Sehingga akibatnya bahwa hasil hutan bukan kayu dalam bentuk row matrial kepada tengkulak dan tidak jarang mereka terjerat dengan sistem ijon sehingga mendapatkan harga yang rendah. Wacana yang berkembang justru akses permodalan yang telah direlease oleh Kemenhut justru untuk skema pengelolaan hutan dengan label Hutan Desa. Permasalahannya adalah NTB belum ada skema hutan desa walaupun kebijakan tentang hutan desa telah dikeluarkan Kemenhut P. 49/Menhut-2/tahun 2008.

Potensi HKM dan HTR bila + 20.000 ha tahun 2012 ini diusulkan dan yang disetujui merupakan potensi yang cukup besar. Karena tidak hanya akan mereforestasi dan perbaikan iklim mikro sematamelainkan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila dikelola dengan maksimal. Namun apa yang terjadi bahwa sampai saat ini belum ada blue print yang jelas tentang roadmap pembangunan kehutanan bila dikaitkan dengan program HKm dan HTR. Kesannya bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolan kawasan hutan hanya merupakan lift servise untuk meredam ganguan sosial. Oleh karena itu penangannya sangat lamban karena tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Padahal sejarah membuktikan HKm di NTB lah yang menjadi triger untuk lahirnya kebijakan kehutanan yang mendorong partisipasi masyarakatdan menjadi icon NTB.

Oleh karena itu, apabila masyarakat sekitar kawasan hutan masih tampak wajah buram kemiskinan, salah satu faktornya adalah dikarenakan faktor roadmap yang belum jelas tadi, akses informasi pasar rendah, akses modal rendah, dan pembangunan infrastruktur yang minim pula. Pertanyaanya adalah sampaikan kapan situasi demikian akan berakhir? NTB sebentar lagi yaitu 2013 akan melakukan suksesi kepemimpinan. Pertanyaan adalah sejauhmana calon pemimpin tersebut memberikan perhatian yang sangat serius dengan kerja-kerja nyata bagi masyarakat miskin di seputar kawasan hutan dan pembangunan kehutanan NTB.

Share to:

Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn


Profil Lembaga

Pengalaman

Pengunjung

Flag Counter


MEMBAWA PERUBAHAN KEARAH YANG LEBIH BERMAKNA

© LEMBAGA TRANSFORM