Transform Logo


Memahami Perubahan Untuk Strategi Tindakan

admin      24 Juni 2011      ARTIKEL

Markum

Tulisan ini merupakan hasil penelaahan artikel yang bersum-ber dari tiga pustaka (Mitchell et al., 2000; Marten Gerald G., 2001; Fernandez et al., 2002). Pencantum-an judul di atas dimaksudkan untuk merepresentasikan makna keseluruh-an yang terkandung pada ketiga artikel, karena ketiga artikel tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Makna substansialnya ber-muara pada penegasan mengenai pentingnya menyikapi kompleksitas dan perubahan dinamis lingkungan sebagai dasar menuju konstruksi pembangunan ber-kelanjutan.

1. Ekologi Manusia : Manusia, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Marten, G.G. (2001), mendeskripsikan secara lugas dan mendasar bagaimana pengaruh hubungan manusia dengan ekosistem dan dampaknya terhadap perubahan lingkungan. Marten memperjelas uraiannya dengan menyajikan contoh-contoh kasus di beberapa negara. Paparan dan analisisnya menggiring pembaca untuk segera memaklumi pentingnya konsep pem-bangunan berkelanjutan. Manusia dan ekosistem memiliki hubungan timbal balik yang dinamis. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam akan berpengaruh terhadap perubahan ekosistem.

Perubahan satu unit dalam ekosistem akan memiliki pengaruh berantai terhadap unit-unit yang lain, dan efeknya dapat bersifat langsung (jangka pendek) maupun tidak langsung (jangka panjang). Tindakan manusia saat ini sangat menentukan kondisi alam dan kesehatan ekolosistem di masa mendatang. Maka sudah selayaknya manusia harus bijak mengelola lingkungan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan untuk kebutuhan generasi yang akan datang. Hubungan atau interaksi manusia dan lingkungan digambarkan oleh Marten berlangsung dua arah, namun kecenderungan yang terjadi adalah manusia lebih dominan menerima manfaat dibandingkan dengan lingkungan.

Ekosistem memberikan pelayanan kepada sistem sosial berupa materi, energi dan informasi dalam bentuk produk sumber daya alam, sedangkan ekosistem menerima aliran balik materi, energi dan informasi dari sistem sosial dalam bentuk limbah. Intensitas pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia, sayangnya, banyak me-nimbulkan pengaruh berantai pada unit yang lain, yang berdampak pada ketidakseimbangan atau terganggunya ekosistem.

Berikut adalah beberapa contoh kasus di beberapa negara yang menjelaskan bagaimana dampak interaksi sistem sosial dan ekosistem memberikan pengaruh be rantai pada subsistem yang lain:

Pertama, kasus penangkapan ikan di laut yang melebihi daya dukungnya (over fishing) dalam jangka panjang menyebabkan rusaknya habitat hutan laut (forest kelp) di Alaska. Perubahan rantai makanan yang terjadi adalah, akibat over fishing terjadi penurunan populasi ikan, hal ini mengakibatkan menurunnya populasi anjing laut. Menurunnya populasi Anjing Laut menyebabkan ikan paus memangsa berang-berang sebagai substitusi anjing laut. Menurunnya berangberang meningkatkan populasi mangsanya yaitu landak laut. Makanan landak laut ada-lah tumbuhan laut (kelp). Meningkatnya populasi landak laut telah menyebabkan kerusakan hutan laut (kelp forest), yang menjadi habitat bagi berbagai spesies laut.

Kedua, kasus rusaknya hutan di India. Kasus ini menggambarkan efek berantai yang melibatkan pertumbuhan penduduk, ketersediaan kayu bakar, deforestasi, produksi rendah dan biogas, sebagai sebuah siklus yang berlangsung lama. Penggunaan kayu bakar untuk memasak telah menyebabkan masalah ketika jumlah penduduk semakin tinggi. Akibat konsumsi kayu bakar semakin tinggi, telah menyebabkan kerusakan hutan yang parah di India, berdampak menurunnya kualitas dan kuantitas air irigasi. Akibatnya produksi menurun dan penduduk banyak menderita kelaparan dan kurang gizi. Penggunaan biogas sebagai alternatif energi memasak, telah mampu mengurangi ketergantungan penduduk terhadap kayu bakar. Kondisi hutan secara gradual mulai pulih, dan dalam proses waktu usahatani dapat berlangsung dengan baik, karena ketersediaan air mencukupi.

Kasus penyakit Minamata di Jepang, contoh kasus yang tergolong luar biasa, karena proses perubahan tidak dapat diamati secara kasat mata. Penyakit ini disebabkan oleh limbah merkuri. Merkuri tidak memiliki pengaruh langsung, tetapi melalui rantai yang cukup panjang dan sulit di deteksi indikasi pencemarannya. Merkuri terakumulasi semakin banyak dari tahun ke tahun. Materi ini masuk pada rantai makanan melalui : phytoplankton - zooplankton - ikan kecil - ikan besar - manusia. Manusia tidak menyadari bahwa ikan yang dikonsumsi mengandung konsentrasi merkuri tinggi yang sangat berbaya bagi kesehatan. Pemerintah Jepang melarang penggunaan mercury untuk industri. Namun sayangnya, bahan tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk industri tambang emas di beberapa negara di Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Tragedi di Korea Utara contoh lain bagaimana kerusakan hutan telah menyebabkan banjir besar dan mengakibatkan gagalnya produksi pertanian, sehingga jutaan orang meninggal dunia. Penyebab kerusakan hu-tan sangat kompleks. Selain eksploitasi hutan oleh kolo-nial Jepang, penyebab lain adalah perluasan kawasan hutan untuk pertanian, pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, dan untuk di ekspor. Proses pemulihan hutan (reforestasi) selain memerlukan waktu yang sa

Bertolak dari hal tersebut di atas, Marten menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, menurut Marten, diartikan seba-gai strategi untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan juga memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Dengan kata lain pembangunan berkelanjutan adalah upaya tetap menjaga kesehatan ekosistem agar mampu mensuplai kebutuhan manusia dari waktu ke waktu. Marten menegaskan bahwa pembangunan berke-lanjutan tidak sama dengan pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi hanya berorientasi pada pemenuhan kuantitas maksimal penggunaan sumber daya alam yang terbatas. Pembangunan berkelanjutan pada akhirnya bermuara pada upaya pencapaian tiga hal mendasar yaitu : keberlanjutan ekologi, pembangunan ekonomi, dan keadilan sosial, sebab ketiganya merupa-kan bagian integral yang saling terkait dalam konteks hubungan interaksi ekosistem dan sistem sosial.

2. Pengelolaan Lingkungan Adaptif

Dalam pandangan Mitchell et al. (2000), sumber daya alam adalah berhubungan dengan kompleksitas, ketidakpastian dan perubahan. Maka salah satu kunci untuk menjembatani pengelolaan sumber daya alam, sebagai bahan pengambilan keputusan, adalah bagaimana menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian tersebut melalui pendekatan yang akomodatif sesuai dengan kondisi sosial dan ekosistemnya. Pengelolaan Adaptif merupakan sebuah pendekatan alternatif yang bisa dijadikan pilihan, ketika pendekatan konvensional dinilai telah banyak mengalami kelemahan dan ketidakberdayaan menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang sulit di duga.

Pemahaman pengelolaan adaptif pada prinsipnya berujung kepada upaya pendekatan kebijakan untuk mengelola sumber daya alam dengan mengkaitkan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan untuk mencapai keberlanjutan masa datang (lee, 1993). Tujuannya adalah membangun kebijakan yang lebih tahan dan kuat (Holling, 1978). Agar tujuan lebih efektif maka Rondinelli (1993) menekankan pentingnya pengelolaan adaptif dengan mempertimbangkan secara mendalam adanya perubahan lingkungan yang cepat, kompleks dan lebih penuh ketidak pastian.

Selama ini program dan pembangunan seakan terjebak pada jalan praktis dan ketidak-sabaran dalam memahami dan menyikapi dinamika alam. Sehingga upaya tindakan yang dilakukan berupa pembangunan ataupun program menjadi semacam tindakan percobaan saja. Hasilnya tentu saja belum tentu bisa sistemik menjawab kebutuhan sasaran sebagaimana dinamika yang terjadi. Sebagai alternatif pendekatan, maka Mitchell et al. (2000:229-234) mencoba memberikan perbedaan des-kripsi yang jelas antara pendekatan konvensional dan adaptif berdasarkan tiga aspek: strategi pengelolaan (Rondinelli, 1993), aspek penerapan dan aspek situasi kebijakan (Berman, 1990). Pendekatan konvensional secara umum bersifat mekanistik, terprogram dan terstruktur. Sedangkan pendekatan adaptif bersifat fleksi-bel, diagnostik, dan tidak terstruktur. Dengan demikian pendekatan adaptif merupakan pendekatan yang bersifat kualitatif, mengalir mengikuti irama alam yang berubah, menekankan pada proses, bukan semata-mata pada hasil, memungkinkan sebuah kebijakan dapat di-ubah dan disesuaikan dengan perubahan situasi, tujuan tidak dirancang secara kaku dan rinci, mengakomodir kepentingan banyak kelompok, dan memungkinkan situasi belajar sambil bekerja sesuai dengan kondisi lokal.

Mitchell dalam Telaahannya tidak memberikan kesimpulan eksplisit bahwa pendekatan adaptif dapat di-terapkan pada semua persoalan. Pendekatan dapat dipilih sesuai dengan situasinya, apakah pendekatan yang sifatnya terprogram atau adaptif. Ketidak padanan antara pendekatan dan situasi akan memperburuk perosalan. Namun jika merujuk pada kondisi bahwa kompleksitas, ketidakpastian dan perubahan selalu kita hadapi, maka dalam situasi ini, menurut Mitchell, pendekatan adaptif dinilai bisa lebih efektif. Sebagai penegasan atas efektifnya pendekatan adaptif dalam mengakomodasikan kompleksitas dan ketidakpastian Mitchell B et al. (2000: 234-244) memberikan contoh yang terjadi pada dua negara, Kenya dan Amerika Serikat.

Contoh kasus di Kenya menggambarkan bagai-mana komunitas peternak memiliki kemampuan ber-adaptasi pada kondisi kekeringan ekstrim dan berubah-ubah dengan melakukan tindakan-tindakan yang men-cerminkan kecerdasan lokal. Pada saat musim kering datang mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil dan berpindah lebih sering ke daerah lain, dan me-ngurangi jumlah ternak mereka untuk mendukung kebutuhan pangan dan gizi mereka.

Kasus di Amerika menggambarkan contoh yang baik bagi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkelanjutan di Sungai Columbia. Sejak dibangunnya dam-dam besar di sepanjang Sungai Columbia, produksi ikan Salmon dan ikan Kepala Baja menurun tajam. Maka untuk menjaga kehidupan ikan dan satwa di Das Columbia telah dilakukan restorasi biologi yang menelan biaya sangat besar.

Program ikan dan satwa liar memakai pendekatan adaptif, yang mendasarkan pada prinsip belajar dan bertindak, penerapan program menjadi satu set kesempatan dan meningkatkan dasar keilmuan untuk tindakan. Pendekatan adaptif memfasilitasi proses tindakan dan belajar atas kesalahan yang terjadi untuk memung-kinkan mereka memperbaiki kebijakan dan praktik. Namun menurut Mitchell et al. Justru di situ tantangan terbesarnya. Banyak perencana dan pengelola tidak mau mengakui kesalahan dan kegagalan dan membuat memotong bagian yang salah dan memulai lagi sesuatu yang baru. Akibatnya program dan kebijakan memerlu-kan investasi tambahan, hilangnya banyak kesempatan serta tidak efektif.

3. Memikirkan Kembali Pertanian untuk Peluang-Peluang Baru Fernandez et al. (2002), mengulas mengenai sub-stansi pertanian yang selama ini cenderung dipahami sebagai usaha pragmatis untuk mendapatkan produksi dengan cara instan tanpa pertimbangan holistis. Paham yang demikian meskipun pada awalnya nampak berhasil, namum dalam jangka panjang justru menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, cara pandang terhadap pertanian perlu diubah disesuaikan dengan kondisi dan keterbatasan yang ada, dibangun atas per-spektif yang lebih holistis dan berkelanjutan. Penulis dalam memperkuat dasar argumentasinya, memaparkan kondisi empiris, atas keberhasilan dan sekaligus kegagalan gerakan revolusi hijau, yaitu sebuah gerakan pertanian masif untuk mendorong produksi pangan dunia. Gerakan Revolusi Hijau pada tahun 1970-an secara menakjubkan telah mampu menyelamatkan jutaan penduduk dunia dari bencana kelaparan dan kurang gizi. Namun sayangnya keberhasilan Revolusi Hijau yang mampu menaikkan produksi pangan dunia sampai 3 %, kehilangan momentumnya, ketika pada dekade berikutnya produksi mengalami penurunan secara gradual. Upaya peningkatan produksi pertanian yang terlalu mengandalkan bahan kimia, rekayasa genetik dan dukungan mekanik, sebagaimana yang diterapkan Revolusi Hijau, tidak hanya gagal mempertahankan produksi, namun juga menyisakan persoalan lebih kompleks, terutama dalam hal lingkungan.

Faktanya, tantangan produksi pangan saat ini dan masa akan datang lebih disebabkan oleh faktor semakin berkurangnya lahan dan keterbatasan sumber daya air. Keberhasilan pemenuhan pangan akan sangat ditentukan oleh bagaimana mengantisipasi keterbatasan sumber daya alam tersebut, bukan oleh faktor genetik tanaman. Oleh karena itu Fernandez et.al., secara kritis memaparkan secara mendalam tentang kondisi faktual, pote-si, tantangan dan peluang-peluang yang ada, yang bermuara pada satu kesimpulan krusial yaitu perlunya dilakukan "pemikiran kembali" tentang konstruksi pertanian dari beberapa hal antara lain : pendekatan, definisi, konseptual, dan praktik. Mengingat selama ini kecenderungan pemahaman pertanian yang dianut masih kuat mengacu pada nilai-nilai Revolusi Hijau.

Menurut Fernandez et al., melalui kegiatan penelitian, kebijakan, kelembagaan, dan dukungan infr-struktur yang sesuai, meskipun tanpa melalui rekayasa genetik, diyakini bahwa produksi dapat meningkat dua kali lipat. Hal ini dapat dicapai melalui pengembangan pertanian yang menitik beratkan pada pendekatan biologi dan agroekologi, tidak harus bertumpu pada kekuatan bahan kimia, rekayasa genetik dan mekanik. Karena tantangan yang dihadapi pertanian ke depan tidak hanya bagaimana mencapai produksi yang tinggi, namun juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Melalui telaahan kritis terhadap praktik pertanian yang sudah ada dan diperkuat beberapa bukti empiris di beberapa negara, Fernandez kemudian mencoba mele takkan pertanian sebagai bagian komprehensif dari elemen-elemen yang terkait, dan menempatkan perta-nian lebih pro kepada pelestarian alam namun tetap dalam kerangka untuk mendukung keberlanjutan suplai makanan, peningkatan produksi dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat. Maka konstruksi pertanian yang sifatnya parsial tersebut perlu diredifinisikan lagi terutama dalam kaitan dengan dimensi waktu, dimensi spasial, aspek mekanik, sistem tanam dan aspek peng-airan. Dari dimensi waktu, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana siklus panen tidak berdasarkan musiman, tetapi bisa dilakukan sepanjang waktu. Dari dimensi spasial, hamparan tidak hanya diartikan sebagai per-mukaan tanah, tetapi juga melibatkan unsur volume dan solum tanah (kedalaman tanah). Dari aspek mekanik, pertanian tidak harus bergantung pada mekanik yang padat modal, tetapi harus diubah keterlibatan ternak dan manusia yang multifungsi (energi, pupuk, padat karya). Dari sistem tanam yang monokultur harus diubah kepada keanekaragaman tanaman. Dari aspek pengairan yang selama ini cenderung pada penggunaan air secara kontinyu harus di ubah pada sistem pengelolaan air yang efisien. Pada tataran praktik, artikel ini pada akhirnya ber-muara pada gagasan untuk mengubah empat hal yang secara sistemik telah banyak diterapkan dalam sistem pertanian (field culture) saat ini : 1) pengendalian hama dan penyakit yang selama ini tergantung pada bahan kimia, perlu diubah dengan menerapkan pengendalian hayati (non chemicals); 2) mengatasi keterbatasan kesuburan tanah yang sarat penggunaan pupuk anorga-nik harus dikurangi dengan mengganti penggunaan bahan organik; 3) mengatasi masalah sumber daya air tidak identik dengan membangun konstruksi irigasi yang memanfaatkan air permukaan dan air tanah, tetapi bagaimana mengembangkan sistem tanam yang efisien air, dan mengoptimalkan pemanfaatan air hujan.

Pemikiran kembali dalam artikel ini tersirat mengandung keinginan kuat menawarkan alternatif pemikiran-pemikiran konstruktif untuk mengambil peluang-peluang baru sebagai agen perubahan. Fernandez menawarkan perubahan pemikiran diatas, pada dasarnya tidak terlepas adanya keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai positip pendekatan agroekologi. Ketika teknologi rekayasa manusia gagal membawa peru-bahan yang diinginkan, maka kemudian lahir dorongan kuat untuk meyakini kekuatan dan keseimbangan alam sebagai kebenaran empiris yang tidak terbantahkan.

Sumber Referensi

  • Fernandez, F., Alice Pell and Norman Uphoff, 2002.
  • Rethinking agriculture for new opportunities. Dalam Norman Uphoff, 2002.
  • Agroecological innovations : Increasing food production with participatory development. Erthscan Publication Ltd. London. p 21-39. Marten Gerald G., 2001.
  • Human Ecology : Basic Concepts for Sustainable Development. Eartscan Publication Ltd. London. p 1-13. Mitchell, Bruce B., Seiawan dan Dwita Hadi Rahmi, 2000.
  • Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. p 219-251.

Share to:

Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn


Profil Lembaga

Pengalaman

Pengunjung

Flag Counter


MEMBAWA PERUBAHAN KEARAH YANG LEBIH BERMAKNA

© LEMBAGA TRANSFORM