Mendengar kata Desa Puncak Jeringo, yang terbayang adalah jalan yang terjal dan bebatuan. Rasanya jika tidak karena tugas hampir tidak mungkin kami akan datang ke desa tersebut. Bagaimana tidak, untuk menuju desa tersebut, dari jalan utama yang berhotmik masuk ke jalan setapak sekitar 10 km melewati jalan yang cukup terjal dan bebatuan. Jika tidak terbiasa melewati jalur tersebut barangkali dengan menggunakan sepeda motor pun kami tidak bisa sampai. Mobil hanya sampai di Dusun Sengalang-alang. Untuk sampai di Desa Puncak Jeringo tidak ada mobil yang pernah sampai ke desa tersebut karena jalan yang hampir mustahil bisa dilalui. Desa Jeringo saat ini masih berstatus desa persiapan dan baru akhir tahun 2010 dimekarkan dari Desa Sapit. Desa Jeringo terdiri dari 4 dusun yakni Dusun Jeringo, Dusun Sengalang-alang, Dusun Rembige dan Daerah Transmigrasi. Kondisi Dusun Jeringo dan Dusun Sengalang-alang paling terisolir dan tertinggal dibandingkan dengan dua dusun lainnya. Penduduk yang tinggal di Dusun Jeringo sebanyak 640 jiwa atau 250 Kepala Keluarga (KK) dan penduduk di Dusun Sengalang-alang sebanyak 122 jiwa atau 36 KK. Total jumlah penduduk di dua dusun tersebut sebanyak 762 jiwa.
"Setelah 66 tahun kita merdeka, kedua dusun tersebut belum merasakan kemerdekaan" begitulan kesan pertama kali kami ke daerah tersebut. Bagaimana tidak, dari 286 kepala keluarga hanya satu yang memiliki jamban (WC), sebagian besar rumah berdinding bedeg, lantai tanah dan atap ilalang. Status sosial masyarakat diukur dari banyaknya ember atau bak untuk menampung air karena di dusun tersebut tidak ada pelayanan air bersih, sementara untuk menggali sumur hampir tidak mungkin ada air meski sudah beberapa warga yang mencoba karena lokasi pemukiman berada di ketinggian mencapai 120 meter dari permukaan laut. Tidak berlebihan kami menilai warga belum menikmati kemajuan setelah 66 merdeka.
Dua dusun tersebut terisolir dari akses jalan, tidak ada listrik, jauh dari pasar, alat komunikasi terbatas dan tidak ada pelayanan air bersih. Fasilitas umum yang tersedia hanya bangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) tanpa ada tenaga medis. Sarana pendidikan berupa sekolah dasar filial. Tenaga pengajar hanya kepala sekolah dan satu guru honor tamatan SMA. Fasilitas umum tersebut adanya di Dusun Sengalang-alang. Sedangkan di Dusun Jeringo dengan jumlah penduduk mencapai 250 KK tidak tersedia fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kehidupan sehari-hari masyarakat bersumber dari usaha tani tadah hujan dengan sistem perladangan, beternak sapi, kambing, ayam dan mencari hasil hutan non kayu sebagai sumber kehidupannya. Pada musim kemarau relatif sumber ekonomi masyarakat hanya mencari madu, dan hasil ternak. Sumber ekonomi lain hampir tidak ada.
Mengabulkan Doa Warga
Masyarakat menyadari keterbatasan diri dan keterisolasiannya. Menurut warga, doa yang sudah bertahun-tahun dipanjatkan cukup sederhana "air bersih tersedia" bagi warga. Atas dasar itulah sejak tahun 2009 sampai sekarang ini Lembaga Transform dengan dukungan dana CSR dari PT HM Sampoerna kemudian merealisasikan sejumlah program. Beberapa program yang direalisasikan yakni penyediaan infrastruktur dasar, dukungan aktivitas pertanian terpadu, pemberdayaan perempuan, penguatan kapasitas kelembagaan dan pengauatan ekonomi masyarakat. Bentuk kegiatannya sebagai berikut ;
Beberapa program yang sudah dan sedang dilakukan oleh Transform bekerjasama dengan PT HM Sampoerna, tentunya tidak menjawab semua persoalan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Dengan semua keterbatasannya masyarakat tetap bisa tertawa, hidup dengan kesederhanaan dan tetap memiliki harapan.
Kelembagaan BANJAR untuk Merajut Kebersamaan
Untuk pemeliharaan fasilitas yang telah dibangun bersama, kemudian dibentuk wadah yang mereka sebut dengan BANJAR. Kelembagaan tersebut sebagai instrumen untuk membangun kebersamaan, menguatkan rasa persaudaraan dan meringankan beban masyarakat. Banjar sebagai organisasi masyarakat kemudian didalamnya memiliki berbagai peran yakni
Yang patut dijadikan pelajaran dari banjar yakni gerakan sosial yang menurut masyarakat untuk membantu "sengkale mate kance sengkale idup" (musibah kematian dan musibah hidup). Sengkale mate adalah musibah kematian sedangkan sengkale hidup itu adalah kawinan, kelahiran, kurisan dan khitanan. Seluruh masyarakat Kampung Sengalang-alang yang juga menjadi anggota Banjar telah bersepakat untuk saling membantu dalam 6 K (Kelahiran, Kurisan, Khitanan, Kawinan, Kesakitan dan Kematian) baik dalam bentuk materi maupun non materi. Jika salah satu anggota banjar atau masyarakat kampung yang mengalami salah satu dari 6K, maka setiap anggota banjar berkewajiban membantu baik sebagai anggota Banjar maupun sebagai masyarakat umum. Kewajiban sebagai anggota banjar dengan mengeluarkan uang sebesar Rp 10.000,- yang diserahkan sebagai santunan kepada anggota yang mengalami musibah, sedangkan kewajiban sebagai masyarakat dengan memberikan bantuan. Bentuknya bisa berupa uang, beras, gula, kelapa dan lain-lain yang mereka sebut sebagai pelangar. Keberadaan Banjar telah mengukuhkan semangat gotong royong dan membantu dari segi pendanaan dan kelancaran prosesi acara-acara adat. Karena itu Banjar sebagai tumpuan masyarakat untuk merajut rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas antar masyarakat yang serba hidup kekurangan. Solidaritas antar sesama ini nampak sekali pada saat mereka membangun/memperbaiki rumah-rumah, acara khitanan dan acara-acara sosial lainnya. Dari gambaran dan pengalaman masyarakat kampung Sengalang-Alang ini, tentu kita akan menyadari betapa indahnya kebersamaan.
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn