Keuangan inklusif dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan di mana semua orang mempunyai akses atas jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya terjangkau dan dengan cara yang mudah. Sementara selama ini, yang memiliki akses tersebut sangat terbatas, sehingga mereka yang dapat mengakses jasa keuangan terkesan eksklusif.
Global Financial Inclusion Index dari Bank Dunia mengungkapkan, pada 2011 di Indonesia hanya terdapat 15 persen saja dari total penduduk di atas usia 15 tahun yang mempunyai rekening simpanan di bank. Ini berarti lebih dari 120 juta warga Indonesia tidak memiliki akses pada jasa keuangan atau jasa perbankan. Suatu fakta yang mencengangkan.
Mengapa kalangan yang dapat mengakses jasa keuangan begitu terbatas? Laporan tersebut menyatakan bahwa penyebab rendahnya partisipasi masyarakat pada akses keuangan dan perbankan adalah faktor usia, pendidikan, dan letak geografis. Kelihatannya, argumen ini tidak sepenuhnya benar.
Mari kita tengok Badan Usaha Milik Desa yang fokus pada lembaga keuangan mikro, yang dikenal dengan BUMDes LKM. Lembaga yang berfungsi sebagai "village banking" ini, justru produk tabungannya laris manis karena mereka mengijinkan para petani datang ke kantor BUMDes dengan memakai sarung dan sandal jepit. Ini menunjukkan bahwa BUMDes-LKM bersikap inklusif, bersahabat dengan kearifan lokal. Kondisi tersebut sangat kontras dengan bank yang memang dirancang berprilaku eksklusif.
Soal inklusifitas, di era globalisasi saat ini kita seperti tinggal dalam "desa global" yang keterhubungannya seperti tanpa batas. Informasi tentang musik pop Korea (K-Pop) membawa pengaruh pada sekelompok pemuda di Bandung yang membentuk Boy Band Smash. Dalam era globalisasi juga muslim Indonesia merasa tersakiti ketika Muslim Rohingya dibantai. Berbagai informasi tersebut membuat kita saling mengenal individu dari berbagai belahan dunia, seakan-meminjam istilah Gandhi- "kita semua bersaudara".
Dengan persaudaraan, inklusifitas harus mengalahkan eksklusifitas. Demikian pula dalam bidang keuangan. Jika kelas menengah memiliki akun di bank, mestinya saudara kita di pedesaan juga harus memilikinya. Jika jasa keuangan terbukti telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat urban terdidik, maka kehidupan warga desa juga dapat ditingkatkan dengan penyediaan jasa keuangan. Itulah inklusifitas, membuka pintu kesempatan bagi semua kalangan. Dengan kata lain, tak ada lagi istilah kalangan terbatas atau eksklusif.
Ada beberapa hal yang melahirkan gap sehingga situasi inklusif sulit tumbuh. Pertama, usaha kecil dan menengah umumnya memiliki nilai transaksi yang kecil. Karena kecilnya nilai transaksi itu sehingga tidak bisa diladeni perbankan. Kedua, dalam hal transpraransi, perbankan biasanya mensyaratkan UKM memberikan dokumentasi jaminan, laporan keuangan, dan lainnya untuk mendapatkan kredit, sedangkan UKM biasanya tidak mempunyai catatan yang lengkap dan kesulitan memenuhi syarat adanya jaminan.
BUMDes LKM sebenarnya telah meretas gap tersebut, karena segmen yang dilayani oleh “bank desa†ini adalah UKM itu sendiri. Selain itu, persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat mengakses jasa keuangan di BUMDes LKM sangat mudah dan terjangkau.
Hasil penelitian Collard et al. (2003) mengemukakan bahwa masyarakat terpencil lebih suka bertransaksi dengan lembaga komunitas lokal. Mereka takut dengan bank, karena bank mereka anggap sebagai lembaga elite yang mahal yang hanya dapat diakses orang berduit. Bayangkan, BUMDes LKM mengijinkan para petani datang ke kantornya dengan memakai sarung dan sandal jepit. Ini menunjukkan bahwa BUMDes-LKM bersahabat dengan kearifan lokal. Kondisi tersebut sangat kontras dengan bank yang memang dirancang berprilaku sebaliknya.
Dengan demikian, BUMDes LKM (setidaknya dalam konteks regional) telah memberikan harapan baru dalam membangun jasa keuangan inklusif. Tidak saja dalam cara memanfaatkan kredit dengan baik, tetapi juga membangun budaya menabung masyarakat desa.
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn