Alfian Pujian Hadi
Kebutuhan pangan yang terus melambung menuntut peningkatan hasil produksi pertanian meningkat dengan cepat. Demi mendongkrak produksi secara instan, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan digalakkan, demikian juga jenis tanaman yang diusahakan luput memperhatikan keselamatan lingkungan. Akibatnya lingkungan mengalami kerusakan, yang berdampak pada semakin terbatasnya sumber daya air. Konsekuensi yang lebih luas, terjadinya fenomena perubahan iklim yang sulit diduga yang sewaktu-waktu bisa mengancam gagal panen. Hubungan kausalitas atau sebab-akibat ini terjadi secara siklik dan menimbulkan masalah yang sistemik.
Tantangannya kini adalah bagaimana mengelola sumber daya lahan yang ada untuk mengoptimalkan hasil produksi di satu sisi, dan harus mendukung perbaikan kualitas lingkungan serta adaptif terhadap perubahan iklim di sisi lain. Tantangan tersebut terutama bagi kegiatan budidaya di kawasan hutan—atau yang dikenal dengan istilah agroforestry. Kekeliruan dalam pengelolaan kawasan hutan akan berimplikasi terhadap kehidupan secara luas, sebab hutan adalah paru-paru bumi.
Pengukuran karbon: sebuah pendekatan
Untuk menjembatani penilaian yang lebih kompromis antara pemilihan tanaman yang bernilai ekonomis dan juga mendukung kebutuhan konservasi, tepat kiranya menggunakan pendekatan cadangan karbon.
Karbon -yang dilambangkan dengan C (singkatan dari Carbon)- merupakan salah satu unsur yang terdapat di alam semesta. Tanaman menyerap karbon dari atmosfer dalam bentuk CO2 (Karbon dioksida), yang kemudian disimpan di dalam batang, cabang, ranting, daun, bunga, buah, dan akarnya. Selain berfungsi menyimpan karbon di dalam pohonnya, tajuk tanaman juga berfungsi menahan pelepasan emisi karbon dari dalam tanah ke atmosfer, sehingga cadangan karbon di dalam tanah bisa terjaga.
Tingkat serapan karbon yang tinggi umumnya terjadi pada lahan dengan kesuburan tinggi dan tingkat curah hujan cukup, dan pada tanaman yang cepat tumbuh serta tingkat dekomposisi (pelapukan) yang cukup tinggi pada lokasi tersebut (Dury et al., 2002 dalam Ginoga, 2004).
Pada fase pertumbuhan cepat, daya serap tanaman terhadap karbon lebih besar dibandingkan pada fase pertumbuhan lambat. Fase tersebut ditandai dengan pesatnya pertumbuhan bagian vegetatif tanaman seperti daun, cabang, dan batang. Demikian juga spesies tanaman yang memiliki kerapatan kayu (berat jenis) tinggi memiliki daya serap karbon yang lebih tinggi dibandingkan spesies tanaman yang memiliki nilai kerapatan yang rendah.
Sistem Agroforestri dan Stok Karbon
Sistem agroforestri ada banyak macamnya. Berbeda sistem agroforestrinya berbeda pula cadangan karbon pada suatu lokasi. Di kawasan hulu DAS Renggung Lombok Tengah, misalnya, sistem agroforestri berbasis kopi menunjukkan stok karbon yang lebih tinggi dibandingkan sistem agroforestri lainnya. Hal itu diungkapkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Transform bekerjasama dengan Fauna dan Flora International-IP Lombok. Cadangan karbon yang diukur meliputi cadangan karbon pohon, tumbuhan bawah tegakan, seresah (kasar dan halus) serta cadangan karbon tanah.
Secara umum, agroforestri multistrata berbasis kopi di kawasan hulu DAS Renggung cukup berpotensi mempertahankan cadangan karbon. Namun demikian, pengelolaannya masih perlu ditingkatkan terutama menyangkut peremajaan tanaman dan perawatan. Peremajaan tanaman akan mendorong pertumbuhan vegetatif, yang berarti meningkatkan penyerapan karbon dan memperpanjang masa produktif tanaman. Sementara di lokasi tersebut, tanaman kopi sudah cukup tua, tidak lagi dalam fase pertumbuhan cepat. Perawatan lahan juga perlu dilakukan, karena saat ini petani hanya melakukan panen hasil tanpa diikuti penambahan unsur hara, sehingga tingkat kesuburan tanahnya menurun. Akibatnya, tingkat penyerapan karbon juga menurun.
Pengelolaan lahan di kawasan hulu DAS Renggung memiliki peran yang strategis sebagai penyerap dan penyimpan karbon, juga sebagai regulator air (catchment area) yang mampu memberikan kontribusi dalam penyediaan air untuk kawasan tengah dan hilir. Untuk mengantisipasi terjadinya krisis air terutama kaitannya dengan kebutuhan air untuk pertanian maka mau tidak mau tindakan konservasi harus diupayakan semaksimal mungkin dan menekan kerusakan lingkungan akibat aktivitas masyarakat (illegal logging).
Bagaimana dengan kawasan tengah dan hilir?
Masih merujuk pada hasil penelitian di DAS Renggung, sebagian besar lahan di kawasan tengah dan hilir menerapkan pola agroforestri Turi. Masyarakat menanam turi karena masa panennya relatif lebih cepat dibandingkan tanaman penghasil kayu lainnya. Dilihat dari jumlah stok karbonnya, agroforestri turi hanya mampu menyimpan karbon sekitar 24,03 ton per hektar. Jika dihitung C-organik rata-rata berkisar antara 0,59-1,25 persen. Kisaran angka tersebut, menurut Hardjowigeno (1986), masuk dalam kategori tingkat kesuburan tanah rendah sampai sangat rendah.
Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian intensif di kawasan tengah dan hilir mengakibatkan bahan organik tanah (BOT) menurun dengan cepat. Hal tersebut disebabkan oleh: Pertama, intensifnya pengolahan tanah mengakibatkan banyak kehilangan unsur hara. Kedua, pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah. Ketiga, pengangkutan bahan organik secara besar-besaran bersama hasil panen secara tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik.
Untuk meningkatkan serapan emisi karbon, pengaturan iklim mikro, peningkatan serapan air, minimalisasi terjadinya erosi permukaan, serta peningkatan kesuburan tanah, maka harus mulai diupayakan kombinasi tanaman. Tidak hanya tanaman turi, tetapi dapat dikembangkan jenis tanaman kayu maupun MPTs (Multi Purpose Tree spesies) lainnya seperti mahoni, jati, kelapa, dan tanaman lainnya yang dikombinasikan dengan turi. Kebun campuran pada kawasan tengah dan hilir menunjukkan cadangan karbon tertinggi, lebih dari tiga kali cadangan karbon pada agroforestri turi, dan hampir dua kali cadangan karbon pada agroforestri mahoni. Dengan demikian, pengelolaan kawasan hutan tak hanya berorientasi pada hasil produksi secara ekonomis, tapi juga memperhatikan keselamatan lingkungan, sehingga berimplikasi terhadap produksi secara berkelanjutan.
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn