Menuju Kampung Mandiri dengan Lingkungan Hidup Yang Lestari
admin
11 September 2011 ARTIKEL
Witardi
Kemandirian sebagai problem sosial
Kemandirian sesungguhnya bukanlah sekedar kondisi yang berkecukupan dalam hal pangan atau tersedianya sarana seperti listrik, air atau kebutuhan lain, akan tetapi mencakup juga dimensi sikap manusia. Oleh karena itu, secara sosial kita juga mengenal kemandirian sebagai problem kultur. Dalam melihat prilaku masyarakat, ada dua pandangan yang berkembang dalam Ilmu Sosial. Pandangan pertama, mengasumsikan bahwa tingkah laku atau sikap mental manusia itu ditentukan oleh jiwa orang itu, pribadi orang itu atau oleh suatu sistem sosial. Contoh konkritnya menyatakan bahwa tidak mandirinya masyarakat di suatu Desa berkaitan erat dengan soal-soal sistem nilai kedisiplinan termasuk bagaimana orang tua membesarkan anak ketika masih kecil. Dengan demikian, prilaku dianggap penyebab dari suatu ketidak-mandirian.
Pandangan kedua, melihat bahwa perbedaan dalam sistem nilai sebagai penyebab suatu masalah, harus dipertanyakan apa yang menjadi penyebab perbedaan tersebut. Bisa jadi bahwa penyebab perbedaan dalam sistem nilai berlaku karena adanya perbedaan dalam sistem penghasilan atau cara produksi. Pada masyarakat yang hidup dari berburu sebagai contoh, kedisiplinan menjadi sangat penting dalam upaya mendapatkan hasil buruan. Berbeda dengan petani sawah, disiplin tidak terlalu berkaitan langsung dengan tingkat produktivitas. Ia bisa kapan saja datang ke sawah sehingga ke-tepat-an waktu tidak memiliki dampak langsung terhadap jumlah hasil padi yang dapat dipanen.
Dalam menganalisa kemandirian suatu masyarakat, kedua pandangan tersebut sangat berguna. Merubah prilaku petani tidak cukup dengan merubah sifat-sifatnya, sistem nilainya, psikologisnya, secara individual. Pengambilan keputusan oleh individu atau yang kita sebut dengan prilaku berkaitan erat dengan cara pandang suatu masyarakat sebagai satu kesatuan hidup setempat. Hal ini berarti bahwa kekuatan masyarakat sebagai ikatan kolektif untuk mengambil keputusan lebih utama dari pada kekuatan masing-masing individu itu sendiri. Di masa krisis ini, masyarakat yang memiliki kesatuan hidup setempat dalam artian keberadaan aturan adat/norma yang kuat terbukti lebih mandiri dan stabil dalam tata kehidupannya. Coba bandingkan dengan situasi masyarakat yang tidak memiliki nilai atau norma atau aturan adat yang mengikat individu warganya untuk bekerjasama.
Syarat kemandirian
Selain faktor sosio kultural yang bersifat mengikat para warga untuk bekerjasama, terwujudnya kemandiirian dalam berbagai bidang (pangan, energi, sumberdaya air, dll) bagi masyarakat desa, mengandaikan kepada hal-hal berikut : Pertama, adanya sejumlah kepemilikan (lahan) dan ketersediaan sumberdaya alam (hutan, air) yang dapat menghasilkan bahan makanan ataupun sumberdaya lain. Kedua, hasil kegiatan mengolah lahan (kebun atau hutan) berlanjut pada kegiatan ekonomi (berupa transaksi jual-beli) yang berjalan secara seimbang di antara petani, pedagang, dan konsumen. Lewat tukar-menukar atau transaksi jual beli, secara ekonomi warga desa dapat memperoleh keuntungan yang signifikan. Dalam kondisi seperti inilah petani memperoleh keuntungan, dan bahan makanan tersediakan secara berkelanjutan karena pedagang memperoleh keuntungan tanpa harus mengeksploitasi petani. Ketiga, berlangsung pertumbuhan produktivitas karena kebutuhan pokok seperti air tersedia dalam radius yang sangat dekat dengan rumah tangga petani. Gangguan supply air (baik dari sisi jumlah maupun jarak) dapat dipastikan akan \"mengorbankan\" waktu kerja kaum perempuan karena sumberdaya air sangat berhimpitan dengan peran domestik kaum perempuan. Dengan kata lain, tersedianya sumberdaya air dalam jumlah, waktu dan jarak yang memadai akan menunjang peningkatan produktivitas warga desa terutama karena adanya penghematan waktu dalam penyelesaian fungsi domestik rumah tangga.
Secara teoritik, pengkondisian seperti di atas akan mudah dijelaskan berdasarkan pada pendekatan struktural fungsional di mana masing-masing orang menjadi bagian yang saling mengisi sesuai dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing. Tetapi di dalam realitas sosial dimana di antara warga masyarakat berada dalam suasana kompetisi maka pendekatan ini sulit diterapkan. Alasannya adalah ; Pertama, dalam masyarakat yang kompetitif (tidak tersedia nilai-nilai kolektivitas), pilihan-pilihan dan keputusan masyarakat dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan (pangan, energi, air dll) tidak bergerak dan juga tidak digerakkan oleh suatu nilai berupa kebersamaan. Kedua, dalam komunitas yang kompetitif, warga masyarakat yang satu dengan yang lain merasa tidak ada ketergantungan dan akibatnya tidak ada kepedulian tentang: apakah di desanya masih tersedia lahan-lahan pertanian dan apakah pemilik lahan-lahan itu sendiri masih mau menanam tanaman pangan atau memelihara sumber air. Pada suatu titik waktu, fenomena demikian akan melahirkan pertanian yang tidak prestisius lagi dan peralihan kepemilikan lahan kemungkinan akan berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Dalam situasi seperti ini, kemungkinan untuk tumbuh menjadi masyarakat yang mandiri (pangan, energi, air dll) semakin tidak memenuhi persyaratan.
Kemandirian dan Kondisi Lingkungan Hidup
Secara hipotetik, sebenarnya sulit untuk memprogramkan suatu proses kemandirian di tingkat masyarakat dimana faktor lingkungan hidupnya relatif tak mendukung. Banyak sekali fakta yang menjelaskan bahwa daerah yang minus dari sumberdaya alam, ternyata berdampak pada terbatasnya syarat-syarat untuk mencapai suatu tingkat kemandirian.
Kemandirian sebagai Kapital Sosial
Bentuk-bentuk kerjasama antar individu dalam suatu masyarakat yang berhubungan dengan kemajuan ekonomi melalui produktivitas umumnya didefinisikan sebagai Kapital Sosial. Jika struktur (tata susunan) suatu masyarakat diibaratkan sebagai bangunan gedung maka kekuatan gedung tersebut untuk tegak bukan saja ditentukan oleh campuran bahan yang membentuknya akan tetapi bagaimana susunan dari bahan yang digunakan. Dalam perspektif ini, kekuatan ekonomi suatu masyarakat tidak saja ditentukan oleh ketersediaan modal yang berupa hasil alam, finansial atau tenaga kerja, akan tetapi juga terkait dengan bentuk-bentuk tradisi/kebiasaan/kultur yang memungkinkan anggota masyarakat dapat bekerjasama (seperti gotong royong/banjar atau besiru).
Hubungan timbal-balik kapital sosial dengan produktivitas masyarakat juga bisa dilihat sebagai suatu corak kelembagaan. Pada kasus masyarakat sekitar hutan sebagai contoh, berbagai corak kegiatan pertanian cenderung mendekati ciri-ciri peladang (agroforestry) dari pada pertanian basah (sawah). Sehingga bentuk-bentuk kerjasama yang berkembang juga disesuaikan dengan tuntutan kerja dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Supaya produktivitas masyarakat menjadi lebih tinggi, faktor hubungan kerjasama antar warga dan faktor ketersediaan sumberdaya alam, haruslah memberikan nilai yang sinergis. Artinya, aktivitas masyarakat akan tumbuh dengan baik jika ditunjang dengan karakteristik sumberdaya alam yang memberikan kelayakan bagi individu untuk berinvestasi. Demikian pula sebaliknya, ketersediaan sumberdaya alam (pertanian) akan sulit dioptimalkan bagi perbaikan nasib warga masyarakat jika tata pengaturan kesatuan hidup setempat tidak dapat memberikan iklim yang baik bagi pengembangan kesepakatan atau pengambilan keputusan.
Share to:
Facebook
Google+
Stumbleupon
LinkedIn