Di pinggir jalan desa, bersebelahan dengan rumpun bambu, berdiri sebuah bangunan yang sebagiannya berupa bak penampung air, dan sebagaiannya lagi gudang mesin penyedot air. Bak air itu berkapasitas 30 ribu liter, menampung air yang disedot dari kedalaman 81 meter.
Terletak di Dusun Dasan Gunung Desa Sukadana, Lombok Timur, sumur bor bantuan pemerintah daerah itu mulai beroperasi sejak 2007. Kehadiran sumur bor tersebut sangat membantu masyarakat memperoleh air bersih. Pada musim kemarau, sumur bor menjadi satu-satunya andalan warga untuk memenuhi kebutuhan air bersih, karena sumur-sumur mereka "yang kedalamannya mencapai 20-30 meter" mengering.
Meskipun sumur mereka berair banyak pada musim penghujan, warga lebih memilih mengambil air bersih di sumur bor. Air sumur bor tidak dialirkan ke rumah warga, mereka mengambil sendiri ke bak penampungan. Sementara untuk keperluan MCK harus tetap ke kali yang jaraknya 1 - 1,5 kilometer dari rumah mereka.
Awal 2012, mesin sumur bor rusak. Pengelola tak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada biaya pemeliharaan. "Bahkan untuk operasional tiap bulan, saya seringkali menggunakan uang pribadi," ujar Amaq Ridwan yang bertugas mengoperasionalkan mesin. 7 bulan lamanya mesin tak berfungsi, membuat warga kembali ke masa silam, masa sebelum ada sumur bor.
Dua bulan lalu, pada Desember 2012, Lembaga Transform didukung PT HM Sampoerna, memberikan bantuan. Mesin diperbaiki, gudang mesin direhabilitasi, dan manajemen di perbaharui. Sumur bor beroperasi lagi, tapi dengan model pengelolaan yang berbeda. Warga tak lagi mengambil air ke bak penampungan. Air dialirkan ke rumah warga bagi yang bersedia memasang water meter dengan biaya Rp 400 ribu. Untuk mendukung biaya pemeliharaan dan operasional, disepakati warga membayar Rp 1000 per meter kubik air, dan beban Rp 5000 per bulan.
"Sampai sekarang, dua bulan sejak rehabilitasi, hampir 50 warga yang sudah memasang water meter," ungkap Sugianto, pengelola sumur bor. Jumlah itu berarti 20 persen dari jumlah KK yang menjadi sasaran pemanfaat. Mereka adalah warga di tiga dusun, yaitu Dasan Gunung, Dasan Tundung, dan Dasan Gerimak. Selain ke rumah warga, air dialirkan ke 1 masjid, 2 mushalla dan 1 Sekolah Dasar. Sugiarto menyebutkan, kini pengelola sudah memiliki saving sebesar Rp 1,4 juta. "Jumlah itu setelah dikurangi biaya operasional Rp 150 ribu per bulan, yaitu 50 ribu untuk biaya pemungutan, dan Rp 100 ribu untuk bahan bakar minyak," terangnya.
Cerita di Balik Sumur Bor
Sebelum rehabilitasi dan pemberlakuan model baru dalam pengelolaan air bersih itu, warga menggunakan air kali saat musim kemarau. Kolam-kolam pemandian di sawah yang biasa berair pada musim hujan, turut mengering bersama sumur warga. Mereka seringkali meminta kepada pekasih untuk mengisi kolam itu dengan air irigasi, padahal air itu untuk mengairi tembakau.
Kini, warga mulai memasang water meter. Sejalan dengan itu, mereka membuat kamar mandi dan memasang jamban. Ini tentu perubahan drastis akibat pemasangan water meter. Ada seorang warga, saking girangnya, ia seperti membuncahkan hasrat yang selama ini terpendam. Setelah memasang water meter, dibuatnya bak air berukuran besar seperti kolam. Ia memuaskan diri mandi sambil berendam saat istrinya pergi ke pasar. Seorang warga lainnya, melampiaskan kegembiraan dengan memasang shower di kamar mandinya. Orang-orang sekitarnya pun tahu hal itu. Barangkali ia menyimpan keinginan untuk mandi menggunakan shower dirumah sendiri sejak menjadi TKI di negeri jiran. Namun Sugianto menegurnya karena dinilai berlebihan dan membuat perbedaan yang terlalu mencolok dengan tetangganya.
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn