Dewi Sintya PJP
Fasilitator Lembaga Transform
Peran Perempuan menjadi salah satu kunci keberhasilan kerumitan usahatani tembakau Virginia di Pulau Lombok. Siapapun yang memutuskan untuk melakukan usahatani tembakau, berarti dia telah siap untuk menghadapi kompleksitas yang akan menghadang. Kerumitan tidak semata-mata berhadapan pada persoalan budidaya tembakau, tetapi lebih dari itu akan berhubungan dengan ketenagakerjaan, sistem upah, dan hubungan sosio kultural lainya. Dan sejauh ini perempuan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kompleksitas tersebut.
Kompleksitas Usahatani Tembakau
Usahatani tembakau di Pulau Lombok menjadi usahatani primadona masyarakat. Hal ini dikarenakan usahatani ini memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan komoditas lainnya. Serapan tenaga kerjapun sangat tinggi mencapai 671 HOK (Hari Kerja Orang) per musim tanam, dibandingkan dengan usahatani padi hanya 130 HOK. Pada setiap tahapan usahatani tembakau ini, membutuhkan banyak curahan tenaga kerja dan rumitnya setiap tahapan. Rumitnya usahatani ini bisa dilihat dari setiap tahapan yang harus dikerjakan, dibutuhkan ketelitian tinggi serta pengawasan langsung dari pendamping lapangan perusahaan mitra. Jenis bibit, pupuk, pestisida, peralatan bahkan bahan bakar untuk mengoven tembakau, mempunyai aturan ketat yang telah ditetapkan oleh perusahaan, agar hasil produksi sesuai dengan standar perusahaan.
Tahapan yang harus dilalui usaha tani tembakau dimulai dengan tahap persiapan (ada 11 item kegiatan), tahap penanaman dan pemeliharaan (ada 15 item kegiatan), kemudian tahap pemanenan (6 – 10 kali panen) dan tahap pasca panen (ada 8 item kegiatan). Dengan demikian, secara keseluruhan ada 44 item kegiatan yang harus dikerjakan oleh petani selama 6-7 bulan budidaya tembakau. Bandingkan dengan item kegiatan usahatani padi yang hanya membutuhkan 10 item untuk seluruh proses budidaya. Begitu banyaknya item kegiatan pada usahatani tembakau tersebut, tentu akan berimplikasi pada banyaknya serapan tenaga kerja, dan serapan biaya yang tidak kecil.
Besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani tembakau virginia ini terkadang tidak sebanding dengan hasil yang diperolah. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil produksi adalah ketersediaan sarana produksi, ketersediaan tenaga kerja, dan faktor perubahan iklim. Meskipun menurut petani hasil tembakau “terlihat besar”, dapat mencapai 15 – 30 juta rupiah setiap hektar, namun dalam perhitungan biaya, petani sering tidak memperhitungkan sewa lahan dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Sehingga jika dua komponen tersebut ikut diperhitungkan, maka pendapatan petani menjadi hanya berkisar 5 – 15 juta/ha. Tentu nilai tersebut kurang sepadan, jika harus dibandingkan dengan begitu banyaknya item kegiatan yang dilakukan oleh petani.
Sistem dan Besaran Upah
Ada dua sistem pengupahan dalam usahatani tembakau, yaitu harian dan borongan. Sistem upah harian didasarkan atas waktu kerja buruh, rata-rata selama 8 jam sehari dan sistem kerja borongan didasarkan atas hasil kerja (output). Pekerjaan yang umumnya menggunakan kerja borongan pada usahatani tembakau adalah bajak tanah, pengairan, panen, gelantang daun tembakau, pengovenan, pengepresan daun omprongan (ngebal). Sistem pengupahan kerja harian ada dua, yaitu dalam bentuk uang saja dan uang + makan. Sebagian besar upah yang berlaku di masyarakat berupa uang dan makan.
Kisaran besaran upah cukup variatif, jika upah dalam bentuk uang + makan, untuk laki-laki rata-rata Rp Rp 55.000/hari dan untuk perempuan antara Rp 40.000/hari. Sedangkan jika upah diterima uang saja, jumlah upah tersebut ditambah dengan Rp 5.000/hari, baik laki-laki maupun perempuan. Berapa harga makanan yang diberikan buruh, jika dinilaikan dalam bentuk uang ? Menurut petani nilainya berkisar antara Rp 10.000 - Rp 20.000/hari, atau rata-rata Rp 15.000/hari. Faktor inilah yang menyebabkan, mengapa buruh tani lebih memilih upah dalam bentuk uang + makan, daripada upah uang saja.
Besarnya upah cenderung berubah-ubah setiap tahun, umumnya terjadi kenaikan Rp 5.000/tahun. Kenaikan ini pada prinsipnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu menyesuaikan naiknya harga-harga barang yang dikonsumsi oleh petani, dan kesepakatan antara petani dengan buruh tani. Selama ini tidak ditemukan adanya pernyataan petani dan buruh tani yang menyebutkan bahwa upah pernah turun dibandingkan tahun sebelumnya.
Upah buruh menempati posisi pertama dalam jumlah biaya, dan harus tersedia secara tunai, untuk dibayarkan saat buruh selesai bekerja. Pada situasi dimana terjadi jatuh tempo membayar buruh, petani harus mendayagunakan semua sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Maka pada kondisi yang demikian, saatnya petani akan menjual semua sumber daya yang dimiliki guna menopang pembiayaan upah tenaga kerja tersebut. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa saat proses budidaya tembakau sedang berlangsung, petani berhadapan dengan hutang yang tidak sedikit. Jumlah pinjaman petani dapat mencapai 40 juta rupiah per musim tanam. Maka jika sampai terjadi kegagalan usahatani tembakau, itu sama artinya petani kehilangan sebagian nyawanya.
Urgensi Perempuan Dalam Usahatani Tembakau
Dari banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan pada usaha tembakau, tidak kurang dari 50% diantaranya adalah buruh tani perempuan. Setiap tahapan pada usahatani tembakau selalu terdapat keterlibatan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada beberapa tahapan, perempuan memegang peranan yang sangat penting. Salah satunya adalah tahapan panen dan pasca panen. Perempuan dinilai lebih telaten dalam tahap ini. Demikian pula untuk tahapan lain, sebagian juga dikerjakan oleh perempuan. Bahkan untuk beberapa pekerjaan yang tergolong berat, juga dikerjakan oleh buruh tani perempuan, seperti pada tahapan pembibitan, pengangkutan maupun mengambil air untuk pemupukan.
Persentasi penggunaan tenaga perempuan pada masing-masing tahapan memang berbeda. Proporsi yang tinggi penyerapan tenaga perempuan adalah pada tahap panen yaitu mencapai 60%. Demikian juga saat pembibitan, proporsi perempuan sebesar 41%, dan pada tahap pemeliharaan mencapai 46%. Menurut penuturan ibu Hariani, koordinator buruh tani perempuan di Desa Padamara, setiap kali musim budidaya tembakau, permintaan buruh tani perempuan naik ekstrem, baik dari dalam desa maupun luar desa. Pada situasi seperti ini, terjadi perebutan tenaga buruh, karena yang membutuhkan tenaga buruh bukan hanya usahatani tembakau, tetapi juga usahatani lainnya.
Bisa dikatakan perempuan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses usahatani tembakau, mulai dari persiapan lahan sampai dengan pemasaran tembakau. Dengan demikian, proses usahatani tembakau tidak bisa dilepaskan adanya peran penting perempuan di dalamnya. Sifat-sifat yang melekat pada perempuan antara lain ketelatenan, keuletan dan kerajinan yang dimiliki, menjadi salah satu alasan kuat mengapa tenaga mereka selalu dibutuhkan dan bisa disebut menjadi ujung tombak keberlanjutan usahatani tembakau.
Sisi Buram Perempuan dan Tembakau
Sisi lain buruh tani perempuan tembakau adalah, bahwa selain melakukan pekerjaan di usahatani tembakau, perempuan juga mengabdikan dirinya untuk pekerjaan domestik (rumah tangga), seperti mengurus anak, memasak, membersihakan rumah dan banyak lagi pekerjaan lain yang dikerjakan rutin oleh perempuan. Sebagian besar laki-laki menganggap pekerjaan domestik yang dikerjakan oleh perempuan adalah pekerjaan yang sepele dan ringan, padahal pekerjaan tersebut bisa menguras waktu sampai 20 jam/hari. Perempuan harus bangun sebelum suami dan anak-anak mereka bangun, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan anak dan suami, mencuci pakaian,pergi ke pasar, memastikan semua kebutuhan keluarga terpenuhi dan harus tidur setelah semua orang di rumah tidur
Buruh tani perempuan tembakau selalu memiliki peran ganda tersebut, satu sisi sebagai pekerja ulet di usahatani tembakau dan di sisi lain dituntut menjadi ibu rumah tangga yang tangguh untuk menuntaskan urusan domestik. Namun peran ganda tersebut seakan menjadi tidak bermakna ketika harus disandingkan dengan posisi laki-laki yang dalam konteks sosio, kultural dan agama, memiliki nilai superior dan dominan. Nilai laki-laki yang cenderung hegemonis terhadap perempuan ini, pada akhirnya melahirkan sistem dan pandangan yang diskriminatif, dan menciptakan pola pikir stereotipe masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kaum lemah. Maka tidak heran, proses-proses pengambilan keputusan dalam sistem usahatani tembakau, adalah produk dari laki-laki
Implikasi nyata dari stigma tersebut adalah adanya perbedaan upah laki-laki dan perempuan pada usahatani tembakau sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas. Padahal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia jelas-jelas tidak ada klausul yang mengatur adanya perbedaan upah laki-laki dan perempuan tersebut. Hak laki-laki dan perempuan adalah sama untuk mendapatkan besaran upah, sesuai dengan jam kerja yang dicurahkan. Fakta bahwa sesungguhnya perempuan memiliki andil yang konstruktif dalam usahatani tembakau khususnya dan pembangunan ekonomi pedesaan pada umumnya, ternyata belum mampu berimprovisasi lebih longgar, karena masih adanya karakteristik sosio kultural dan keyakinan pada agama yang menjadi faktor pembatasnya.
Dengan demikian, nampaknya sisi buram perempuan masih akan berjalan cukup panjang, selama stigma yang ada tentang kelemahan perempuan masih diyakini kuat kebenarannya, dan diterima sebagai sebuah kondisi alamiah yang wajar. Fakta bahwa usahatani tembakau sangat tergantung pada eksistensi perempuan di desa, seharusnya cukup membuka cakrawala pandang, bahwa tidak seharusnya ada diskriminasi upah terhadap perempuan. Perempuan tidak lagi patut dipersepsikan sebagai kaum lemah karena hanya faktor fisiknya, tetapi dalam konteks kerja, seharusnya perempuan diukur dari nilai produktivitasnya.
Share to:
Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn